Dalam satu lokakarya, di meja peserta yang bentuknya ditata seperti huruf U tersedia permen rasa mint. Di dalam mangkok kecil yang letaknya persis di depan saya, bentuk, warna, serta ukuran permen itu persis sama dengan telur Cicak. Sembari mengambil satu, saya nyeletuk ke teman di sebelah saya, "kayak telur cicak ya". Myra, yang duduk di sebelah teman saya itu langsung merasa tertarik untuk berkomentar.
Beda halnya dengan anak-anak masa sekarang, yang hidupnya di kota, lebih akrab dengan TV dan dengan mainan yang serba terbuat dari plastik, elektronik serta digital pula. Anak-anak ini lebih dulu mengenal permen mirip telur cicak ketimbang telur cicak itu sendiri. Saat menemukan telur cicak, maka mereka akan mengatakan "ada telur yang mirip permen". Generasi yang usianya sudah 30 atau di atasnya, kebanyakan lebih mengenal telur cicak itu daripada permen yang mirip dengannya. Ketika bertemu permen ini, langsung saja kita mengatakan permen ini mirip telur cicak. Masa kanak-kanak, mereka hanya mengenal sedikit sekali bentuk-bentuk permen. Apalagi rasanya, paling-paling hanya rasa mint dan jeruk.
Saya jadi berpikir, sepertinya ada cara sederhana untuk membedakan generasi sekarang dengan generasi yang berusia kira-kira 20 tahun di atasnya. Cara itu antara lain, dengan mengetahui apakah mereka lebih mengenal barang buatan (teknologi) manusia yang mirip barang yang sudah ada di alam ataukah mereka mencoba menghubungkan barang (buatan manusia) yang baru mereka temui dengan benda yang sudah pernah mereka lihat di alam sekitar. Kalau ia masuk kategori yang pertama, maka bisa ditebak, orang ini pertama kali menghirup oksigen di akhir tahun 80-an atau lebih muda lagi. Inilah realitas kehidupan di kota-kota macam Jakarta dimana anak-anak tak begitu mengenal daerah desa yang lebih akrab dengan nuansa alamnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments
Post a Comment