Upaya menjadi bangsa mandiri

Suatu pagi saat berangkat kerja dua tahun lalu. Saya berjalan menuju gerbang komplek perumahan dimana kami tinggal. Seorang mengendarai mobil berhenti di sebelah saya dan istri yang juga hendak bekerja. Atas dorongan hatinya mengajak sama-sama menuju Jakarta. Saya pun naik ke mobil itu. Laki-laki ini berusia kira-kira 30-40 tahun. Setelah berkenalan, saya ketahui namanya Sony. Saya tidak tahu nama lengkapnya karena hanya dengan satu kata itu ia menyebut namanya.

Saya menuju Senayan, kantor DPR-RI, tempat dimana saya bekerja untuk seorang Wakil Rakyat yang terhormat. Sony bekerja untuk salah satu perusahaan asing yang bergerak di bidang information and communication technology (ICT). Sepanjang perjalanan kami ngobrol tentang banyak hal. Sony yang juga seorang pengurus Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI) sepakat tentang biaya kuliah yang menjadi tinggi. Harapannya, banyak orang yang mampu membiayai anaknya dengan biaya sebesar itu tetapi tetap menikmati subsidi pemerintah. Padahal dengan biaya tinggi yang diterapkan oleh UI, UGM, ITB dan IPB sebagai kampus percontohan, orang yang memiliki uang dan mampu membayar penuh bisa men-subidi mereka yang kurang mampu. Dengan demikian ada subsidi silang antar-kelompok masyarakat. Tinggal bagaimana mekanisme pengelolaannya yang harus dibenahi. Saya sendiri memaklumi apa yang ada dalam pikirin Sony. Tapi saya sendiri sudah terlanjur apatis pada tanggung jawab pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal semacam ini tidak akan berjalan dengan efektif tanpa pengawasan yang baik. Penyakit akut para pengelola bangsa sudah begitu parah, hingga sang pengawas pun bisa "bermain mata" dengan yang diawasi.

Read More......


Setengah tahun terakhir wallpaper komputer saya di kantor adalah foto rambu larangan masuk bagi Coca-Cola. Rambu itu berada di Pinggir jalan utama menuju sebuah negara bagian di India. Saya lupa dari website mana saya mendapatkan foto itu. Saya coba mencarinya namun tidak juga menemukan. Akhirnya saya menemukan website India Resource Center yang banyak memuat kisah-kisah perlawanan terhadap Coca-Cola di India.

Read More......

Menertawai Kemiskinan

Biasanya, setiap hari Sabtu atau Minggu saya berolahraga bersama dengan istri dan Zahid, anak kami, di kawasan perumahan elit "Kota Wisata". Ada satu cluster yang masih belum berisi bangunan, namun tumbuhan rumput serta beberapa pohon cukup untuk menghasilkan oksigen bagi yang senang jogging di sini. Letaknya di seberang masjid kota wisata. Kota Wisata sendiri terletak tidak sampai 10 menit dengan mengendarai sepeda motor. Sebenarnya, tempat tinggal kami masih satu desa dengan Kota Wisata. Desa Ciangsana, kecamatan Gunung Puteri, Kabupaten Bogor. Untuk menuju Kota Wisata, kami harus melewati perkampungan penduduk yang masih ada sawah, kolam dan ada sebuah panti asuhan pula.

Sebelum lari pagi, kami mampir di kampung itu untuk mengajak Zahid melihat bebek yang mandi di petakan sawah yang sedang tidak ditanami padi namun banyak airnya. Ada juga beberapa angsa putih. Kadang di pinggirannya ada beberapa ekor ayam yang sedang mencari makan. Aktifitas ini merupakan hal menyenangkan bagi kami. Saya berkeinginan, satu saat di masa kecilnya ini, Zahid akan saya bawa ke desa kelahiran saya di Bengkulu, supaya lebih mengenal segala macam kehidupan hewan dan tumbuhan, serta masyarakat asli yang ada di sana. Dia harus tahu betapa kaya tanah air ini. Sekarang, perubahan zaman dan kehadiran imperialisme wajah baru cepat atau lambat telah mengubah segala yang ada.

Bulan-bulan terakhir ini, lebih dari sejuta orang, kebanyakan orang muda menggelar aksi protes menentang tata ekonomi baru yang disebut: GLOBALISASI. Salah satu gerakan protes terbesar sejak tahun 1960-an. Belum pernah terjadi sebelumnya massa yang begitu besar bergerak memperjuangkan kemakmuran dan memberantas kemiskinan.


Mungkin John Pilger lupa bercerita bahwa sekarang ini, gaya hidup aktivis sosial pro demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) juga tidak jauh berbeda dengan anak muda-anak muda hedonis. Ponsel terbaru, kalau mengadakan workshop harus di hotel mewah, gaji tinggi dan harus punya mobil mewah pula, serta kalau rapat tempatnya di kafe-kafe.

Tanggal 28 - 31 Agustus 2006, Koalisi Perempuan Indonesia menyelenggarakan Temu Nasional Aktivis Perempuan. Aktivis-aktivis dari seluruh Indonesia berkumpul di forum ini untuk mendiskusikan isu-isu perempuan. Kemiskinan merupakan salah satu isu penting di dalamnya. Seorang teman yang terlibat dalam penyelenggaraan pertemuan ini bercerita, sebuah perusahaan raksasa piranti lunak komputer ikut memberikan sumbangan dangan jumlah yang signifikan. Microsoft memang pandai melenakan kesadaran banyak orang di Negara-negara miskin. Tidak terkecuali aktivis-aktivis di forum nasional tersebut. Semakin kuatlah posisi perusahaan milik Bill Gates itu.

Satu ketika saya bersama seorang teman perempuan dalam perjalanan kembali ke kantor dari menghadiri undangan diskusi. Saya membalas pesan pendek seorang teman. Teman kantor saya ini dengan heran berkata, "tukar saja hp mu itu". Saya sadar, sejak dua tahun lalu saya menggunakan ponsel kelas low end yang sudah ketinggalan zaman. Kalau pun ada yang bersedia membelinya, barangkali harganya tidak lebih 100 ribu rupiah.

Saya amati kembali ponsel yang saya pakai: Motorola C116. Dahi saya mengernyit. Motorola adalah adalah salah satu perusahaan yang berasal dari Amerika.

Bogor, 3/11/2007 8:53:20 PM

Read More......

Kenangan pada Jogja

Tahu lagu "Jogjakarta" yang dinyanyikan oleh Kla Project? Lagu ini melambungkan Kla Project di awal 1990-an. Bahkan beberapa kali mendapat penghargaan. Tak hanya saat itu, hingga sekarang pun orang masih banyak yang menyukai lagu ini. Saya salah satunya. Bukan karena 7 tahun hidup di Jogja, namun beberapa tahun sebelum itu saya memang sudah menyukainya. Barangkali, karena lagu itu pula saya memilih ke Jogja selepas SMA.

Terlalu banyak kenangan saya pada Jogja. Tentang sekian banyak pengalaman hidup luar biasa, teman-teman yang menginspirasi dan berasal dari seluruh penjuru negeri, keramahan penduduk di Bantul, Kulon Progo, Gunung Kidul, Sleman, bahkan para pedagang di Bringharjo. Oh ya, juga tak 'kan lupa, saya pun punya pacar di sana.

Jogja Cinta tanpa akhir

Intro:
Gumregah Merapi anyundhul langit
Padhang mbulan in candhi Prambanan
Keraton pusering buddhi
Candik ayu ing kidul

Membekas... jejakku di pantai berpasir
Deru parangtritis memanggil
Sekian lama merebut hidup tanpa akhir
Saatnya kumanja nurani

Ada haru di sela ombakmu
gamelan lirih melenakan kalbu
(Ana rasa trenyuh kapit ombak ira
Gamelan rep anyirep ati)
termangu ku di situ

Asyik terpukau
Lalu lalang orang di jalan
Ramai sepeda beriringan

Senyum menawan
Wajah ramah memberi salaam
Hati terhanyut damai tentram

anggun gemulai sang dewi penari
bawa legenda putri di taman sari
(Merak ati sang dewi kang luwes ambeksa
Ambabar caritaning putri ing Tamansari)
Betapa mesranya budaya menyapa

Janganlah dulu, waktu berlalu
Biar kureguk pesonamu
Lalu melepas beban di dada
Kala susuri kota

Setiap waktu kini berpadu
Pada kenangan tak berlalu
Segenap rasa.. dariku t'rus mengalir
Cinta tanpa akhir
untuk Jogja

Kutitip rindu di bangunan tua...
Romansa Jawa membuai tak terasa
Betapa lugunya, budaya menyapa

Coda:
Sapa kan tetirah ing ngayogya
Rasa tentrem angelus nala
Bumi saya prasaja

Terima kasih untuk Katon yang telah mencipta lagu bagus ini. Terima kasih pula untuk Sapto Raharjo untuk alunan gamelan yang kaya. Saya berharap, saya akan bisa kembali ke Jogja untuk menyaksikan Festival Gamelan Internasional yang biasanya ada pada bulan Juli. Kerja keras Sapto Raharjo telah melahirkan Festival menarik ini. Juga, untuk Waljinah yang suara tembang Jawa menjadi intro dan latar lagu ini.

Lagu ini telah memicurasa kangensaya pada Jogja.

Bogor, 2/17/2007 9:19:19 PM

Read More......