Ponsel yang hilang itu...

Peristiwa ini terjadi sepekan yang lalu, Jumat malam, 11 April 2008. Saya pulang dari kantor setelah hujan reda. Naik Transjakarta dengan rute Halimun - Matraman - Kp Melayu - Kp Rambutan, dan turun di halte Cawang-UKI untuk meneruskan perjalanan menuju arah Cileungsi dengan berpindah ke minibus 56.


Naik Transjakarta (lebih diakrabi masyarakat dengan nama Busway) dari halte Halimun dengan penumpang cukup ramai. Maklum, akhir pekan. Sekitar pukul 20 waktu itu. Jadi penumpangnya cukup membludak. Suasana di dalam bis seperti biasa kalau sedang ramei, tangan diatas berpegang pada gantungan karena tidak kebagian tempat duduk. Sampai di Matraman, saya transit menuju Kampung Rambutan. Antrian cukup banyak. Transjakarta yang hendak saya naiki dinyatakan cukup menerima penumpang, harus menunggu kedatangan bis berikutnya.

Saya cukup tenang menunggu bis karena posisi saya tepat di bibir pintu halte yang dengan satu langkah sudah masuk ke dalam bis angkutan massal ini. Saya sama sekali tidak menduga kalau ternyata hendak masuk ke dalam bis, ada gelombang dorongan kuat sekali dari arah belakang. Bersama penumpang lain yang mengantri sejajar dan di belakang, saya terlempar dengan keras ke dalam. Sejumlah penumpang yang akan masuk dan juga yang di dalam bis berteriak "hoi sabar dong!!!". Dalam suasana yang begitu gemuruh dan kondisi di dalam begitu padat, saya mencoba meraih gantungan di atas kepala saya untuk menjaga keseimgangan tubuh. Saya berusaha mendekat ke pintu tengah di sisi kiri bis. Kondisi padat memaksa saya untuk mengangkat tangan ke atas, di gantungan itu. Tangan yang biasanya selalu siaga di kantong kanan menjaga ponsel akhirnya lalai juga pada tugasnya.

Saya merasakan keanehan pada paha sebelah kanan, tepatnya di kantong celana saya. Saya mencoba menggerakkannya, ternyata makin terasa tidak ada apapun di dalam kantong. Bis sudah berhenti di halte Tegalan, lalu menuju Halte selanjutnya. Saya berteriak, "yang mengambil hp saya, hayo kembalikan". Saya ulangi sekali lagi. Suara saya mengagetkan penumpang yang ada. Seorang yang berdiri persis di belakang saya menawarkan diri menghubungi nomor ponsel saya. Sebuah tas sandang hitam ada dipinggang sebelah kiri dengan tali melilit dibahu sebelah kanannya. Saya menyebutkan nomor saya. Tapi 4 digit angka di belakang selalu salah, ia ketik 8252 yang mestinya ...9252. Ia ulangi sampai empat kali, selagi tangan kanan memencet-mencet ponselnya, tangan kirinya terus saja merogoh tasnya. Seorang yang membawa tas yang sejenis, dengan perawakan yang menunjukkan usia yang lebih kurang sama, ikut berbicara, dan saya curiga keduanya sengaja mengalihkan perhatian semua penumpang. Saya mencurigai mereka sebagai pelaku pencurian ini.

Saya kesal, tetapi juga khawatir karena siapapun pelakunya, tentulah mereka mengenali wajah saya. Saya mendekati petugas keamanan bis yang berdiri di pintu tengah sebelah kanan. Saya katakan padanya, "lu periksa orang yang di belakang gue tadi". Lalu ia mengontak keamanan lainnya yang ada di halter terakhir "Kampung Melayu" dengan menggunakan alat komunikasi yang ada pada sopir. Bis menuju halte Pasar Jatinegara. Seorang yang berdiri di dekat pintu, di sebelah petugas keamanan bis, mengatakan kepada saya bahwa kemungkinan besar pencurinya telah keluar di halte sebelumnya. I menyebutkan perawakan pencuri menunjukkan mereka berasal dari Ambon. Lalu penumpang lain, seorang ibu, berbaik hati meminjamkan ponselnya supaya saya bisa menghubungi nomor ponsel saya yang hilang. Saya hubungi nomor ponsel saya. Ada sedikit nada sambung, tapi kemudian mati. Saya rasakan sekilas suara dari ponsel saya di sekitar tempat saya berdiri semula. Saya katakan pada petugas keamanan bahwa ponsel saya masih ada di bis ini. Pelakunya belum keluar.

Mengenai tuduhan seorang penumpang bahwa pelakunya dari salah satu suku bangsa di daerah timur Nusantara, terus terang saya tidak menghiraukannya. Saya anti rasisme. Saya tidak ingin menuduh kelompok tertentu gemar melakukan kejahatan karena perawakan mereka atau stigma pada kelompok mereka. Siapapun, dari suku bangsa manapun, ber-agama apapun, memiliki potensi yang sama untuk melakukan kejahatan. Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang nekad melakukan kejahatan. Saya tidak ingin hilangnya ponsel saya justru memupuk atau bahkan menyemaikan rasisme pada orang lain. "Adil sejak dalam pikiran", begitu kata Pramoedya Ananta Toer. "Berprasangka buruk adalah dosa", demikian Islam mengajarkan pada pemeluknya.

Bis Transjakarta yang saya tumpangi mendekati halte terakhir, Kampung Melayu. Petugas keamanan mengingatkan kepada semua penumpang untuk bersiap diperiksa satu persatu saat keluar dari bis. Petugas keamanan banyak sekali di halte Kampung Melayu. Mereka sudah siap memeriksa. Saya diminta keluar lebih dahulu melalui pintu depan, dan menyaksikan pemeriksaan. Saya tahu semua penumpang menjadi tidak nyaman dengan pemeriksaan ini. Saya sendiri sesungguhnya sudah mengikhlaskan ponsel yang hilang itu. Kepada beberapa penumpang saya sampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan yang mereka alami.

Saat pemeriksaan, saya sendiri tidak hafal ponsel saya jenisnya apa, atau nomor serinya apa. Ketika ditanya petugas, saya hanya mengatakan bahwa ponsel saya mereknya "N" dan ada radionya. Saya tidak begitu peduli pada teknologi komunikasi ini selain hanya melihat fungsinya yang harus sesuai dengan kebutuhan saya berkomunikasi. Bahkan fasilitas radio pada ponsel saya karena sepupu saya yang memilih untuk membelinya, lalu tidak jadi, dan menukarnya dengan ponsel pilihan saya yang sederhana dan tidak berwarna pula, sementara si penjual di kios ponsel di PGC telah menerima uang pembelian. Sampai salah satu penumpang memperlihatkan ponselnya, saya baru mengetahui jenis ponsel saya. "hp saya seperti ini, tapi bukan ini" kata saya pada petugas.

Pemeriksaan selesai. Saya diajak bicara oleh seorang petugas berpakaian batik. Saya pikir ia adalah komandan petugas keamanan Transjakarta jalur ini. Ia, untuk kedua kalinya, meminjam KTP dan mencatat data pribadi serta nomor yang bisa ia gunakan untuk menghubungi saya kalau ada perkembangan kasus ini. Ia lalu menanyakan apakah saya memiliki kecurigaan pada penumpang yang ada di dekat saya. Saya jawab, ya. Saya curiga pada seorang penumpang yang berdiri persis di belakang saya, yang berpura-pura membantu melakukan panggilan ke ponsel saya namun empat digit terakhir selalu salah meski saya dan beberapa penumpang di sekitar saya mengulangi bahwa nomor yang ia ketikkan di ponselnya keliru. Saya pun menyadari, ternyata orang itu tidak terlihat saat pemeriksaan. Aneh sekali, saya baru menyadari ia tak nampak di antrian pemeriksaan. Saya ingat betul kalau ia tidak turun di halte Jatinegara, halte terakhir sebelum pemeriksaan.

Petugas berbaju batik itu mengingatkan, kalau ada orang yang dicurigai seharusnya saya beritahukan pada petugas. Saya jawab bahwa pelakunya tidak mungkin sendirian, ia pasti memiliki teman, dan tentunya mereka sudah mengenali wajah saya. Tentunya mereka akan mencari saya di hari-hari selanjutnya untuk melampiaskan rasa sakit hati karena tidak berhasil mencuri. Lain hal lagi, kalau seandainya orang yang saya curigai sampai diinterogasi sendirian, sementara ponsel saya tidak terdapat di tubuhnya atau bagian dari barang-barang bawaannya, bukan tidak mungkin ia sakit hati, merasa dipermalukan, dan bahkan menjadi dendam pada saya. Terus terang saya tidak ingin peristiwa ini berbuntut pada kekerasan pada diri saya di lain waktu. Petugas hanya mengatakan bahwa keamanan selama masih di jalur busway adalah tanggung jawab mereka.

Saya tanyakan apakah ponsel saya ada di lantai atau tidak, sambil melirik ke bibir halte dan berpikir bukan tidak mungkin ponsel saya dijatuhkan ke sana. "Tidak ada, petugas sudah memeriksa hingga ke bawah kursi penumpang". Lalu saya menyudahi percakapan dengan petugas yang baik itu. Saya sampaikan rasa terima kasih atas kesigapan petugas memeriksa semua penumpang. Setelah menjabat tangannya, saya pamit untuk mengantri Transjakarta jurusan Kampung Melayu - Kampung Rambutan untuk pulang. Pemeriksaan itu berlangsung sekitar 20 menit.

Kepada semua penumpang yang tidak bersalah namun ikut repot karena peristiwa ini, secara pribadi saya mohon maaf. Termasuk pada salah satu penumpang yang saya yakin merasa tidak nyaman ketika tasnya harus dibuka dan mengeluarkan buah-buahan yang dibeli di perjalanan untuk di bawa pulang. Saya juga suka belanja buah di pinggir jalan untuk anak dan istri di rumah kok mas. Maaf ya jadi repot begini.

Untuk semua penumpang Transjakarta, selalu berhati-hati ya. Dompet, ponsel dan barang berharga masukin ke dalam tas aja. Tasnya didekap di dada kayak ransel saya, taruh di depan. Untuk penumpang perempuan, hindari menyandang tas yang tidak ada restleting atau tanpa penutup yang rapat, juga taruh di dekapan. Semoga Anda tidak mengalami peristiwa yang seperti yang menimpa saya.

Catatan:
Foto pinjam dari ibu Lily

3 comments

  1. Anonymous  

    April 28, 2008 at 10:14 AM

    Turut prihatin atas kejadian yang menimpamu Man, sabar aja dan ihklas kan aj, moga diganti sama Allah, Aku juga beberapa hari yang lalu mengalami hal yang sama, tetapi di dalam kamar kos hanya aku tinggal 3-4 menit, padahal teman-teman lain belum ada yang bangun

  2. Anonymous  

    May 14, 2008 at 4:20 PM

    Herman, begitulah Ibu Kota. Kejamnya Ibu Tiri tak sekejam Ibu Kota. Saya sudah pernah mencicipi Hp saya berpindah tangan ke tangan penjambret, namun Alhamdulillah Hp itu kembali ke tangan saya.Kejadiannya adalah di jembatan penyebrangan karet. Waktu itu, saya menaruh Hp saya di kantung depan baju, namun di tengah jembatan ada seseorang yang menapuk pundak saya untuk menganggu konsentrasi saya. Begitu konsentrasi saya beralih, beberapa temannya langsung mengambil Hp secepat kilat dari kantong baju saya. Lalu Hp itu dioper-oper ke temannnya yang lain.
    Dengan gerak reflek, saya langsung menangkap salah satu dari mereka dan saya hardik agar segera mengembalikan Hp. Namun mereka berkilah, tidak mengambil Hp. Saya paksa terus dengan suara yang lebih keras dan gemetar, akhirnya Hp itu dijatuhkan ke lantai hingga casingnya lepas dari Hp.

    Saya ambil Hp itu, lalu saya bergegas meninggalkan tempat itu. Saya lihat ke belakang, ternyata mereka ada sekitar 5 orang. Bangsat, dalam hatiku mengumpat. Namun on top of that, saya bersyukur Hp kembali ke tanganku dan masih bisa digunakan.

    Salam,
    Haswan Boris

  3. Herman  

    May 16, 2008 at 3:11 PM

    Terima kasih Boris, sudah mau berbagi pengalaman di sini. Aku merasa bersedih karena ada banyak nomor kontak teman-teman kita dulu dan juga relasiku yang lain, ikut hilang bersama ponsel itu. Ah... semoga saja silaturrahim dengan mereka tetap tersambungkan oleh-Nya.

    Tentang kejamnya Jakarta, orang bilang: Siapa suruh datang ke Jakarta? Sungguh, aku sendiri ga mau menghabiskan usia di Jakarta.

Post a Comment