Berita dari Cawang

Berita duka saya terima pagi ini. Syahrul Gondrong, salah satu ojek langganan saya mengabarkan kalau Budi, tukang ojek langganan saya yang lain, sedang istirahat. Budi ditabrak mikrolet di daerah Mangga Dua. Kemungkinan itu terjadi saat dia pulang ke rumah orang tuanya. Kecelakaan tersebut terjadi sekitar dua minggu lalu. Saya hanya berkata dalam hati, "pantesan cukup lama saya tidak melihatnya".

Budi adalah tukang ojek langganan saya yang pertama. Dia biasa menunggu calon penumpangnya di bawah jembatan penyeberangan di depan kampus UKI Cawang. Posisinya di tangga jembatan sebelah selatan yang ada pohon yang agak rimbun daunnya. Saya mulai menggunakan jasanya sekitar satu setengah tahun lalu. Pada awalnya, sepeda motor Vega R yang digunakannya masih mulus. Warnanya oranye, persis seperti sepeda motor adik saya. Belakangan sepeda motor itu berubah warna menjadi ungu gelap. Suaranya pun jadi cempreng. Saya harus memperhatikan tukang ojek yang berjejer di depan kampus UKI itu untuk menemukan Budi. Kalau dulu, motor dengan merek dan warna demikian sudah pasti milik Budi. Jadi dari kejauhan mata saya tidak susah mencari-cari.

Read More......

Harga Sebuah Kejujuran

Ini terjadi hari Minggu, tiga hari lalu. Saat sedang asyik memandikan Zahid, anak kami, di pojok kiri rumah tinggal, datang seorang tamu. Zahid yang memang senang bermain air keran, sore itu saya minta sekalian mandi. Menggosokkan sabun di badannya, membilas dengan menyemprotkan air dari selang, dan diiringi dengan tawa riang anak kami ini, merupakan pekerjaan yang sangat membahagiakan. Hal ini sering hanya bisa saya alami pada hari Sabtu dan Minggu. Hari-hari lain biasanya jalan-jalan pagi seusai shalat subuh mengitari komplek perumahan tempat kami tinggal. Selesai memandikan Zahid saya temui tamu itu.

Namanya Erik. Ketika berdialog dengan saya, dia lebih senang menyebut dirinya dengan "Erik" daripada menggunakan kata "saya". Kesannya seperti anak-anak. Seperti anak saya yang lebih serng menyebut dirinya "Zahid" daripada "aku". Perawakannya sedikit gemuk, tingginya lebih kurang 160 cm, bicaranya memosisikan dirinya masih anak muda, dan memanggil saya dengan sebutan Pak. Dari dialeknya, dia dari suku Sunda. Sebelumnya, ia pernah datang ke rumah kami dan bertemu dengan Istri saya. Rupanya Erik ini yang dulu menawarkan Vacuum Cleaner yang diproduksi di salah satu negara di Eropa. Setelah ia menjelaskan panjang lebar yang pada intinya adalah merayu supaya saya mau membeli, akhrinya saya sampaikan bahwa saya sangat tertarik, namun sayangnya alat ini masih belum menjadi prioritas kebutuhan.

Read More......

Radikalisme vs Neoliberalisme

Jumat malam, sekitar pukul 20 saat itu, saya masih berada di Kantor. Mas Wildan menyapa melalui Yahoo Messenger. "Masih di kantor mas?". Saya memang masih di kantor, sedang mengganti template blog saya dengan yang baru hasil modifikasi Peter Chen yang semula hanya dua kolom menjadi 3 kolom. Mas Wildan menanyakan apakah saya sudah membaca tulisannya Education the best counter for radicalism yang dimuat di the Jakarta Post, Kamis 19 Juli 2007. Mas Wildan, yang juga seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta serta alumnus Pesantren Al-Mukmin Ngruki, menulis tentang pendidikan sebagai cara terbaik untuk mengekang radikalisme. Saya menebak, tulisan ini merupakan bagian dari upayanya untuk menjelaskan akar tumbuhan radikalisme umat Islam setelah 9/11 dan kampanye antiteroris yang dipaksakan George W Bush ke seluruh dunia.

Read More......

Puisi Diri

Hampir seminggu tidak membaca imel yang masuk di beberapa milis yang saya ikuti. Saya baru usai membaca sebuah puisi yang dikirim oleh penulisnya sendiri ke sebuah milis yang memperjuangankan hak asasi perempuan. Saya terkaget-kaget, kemudian berpikir. Jarak antara yang saya pikirkan dengan kenyataan sebenarnya ada dalam pikiran si pembuat puisi ini bisa jadi jauh sekali.

Apa yang saya pikirkan mengenai puisi yang ditulis "aktivis" perempuan bernama S***h ini?

Read More......

Bahasa Bengkulu Campur-Campur



Kalau diperhatikan, sebenarnya propinsi Bengkulu memiliki bahasa daerah yang banyak. Itulah sebabnya, menurut guru Antropologi saya waktu di SMA dulu, Pemerintah Daerah tidak menetapkan satu bahasa daerah ini yang menjadi muatan lokal pelajaran "Bahasa Daerah" di sekolah.

Read More......