Anda pernah menyapa dan tersenyum pada seseorang atau sekelompok orang ketika melewati sebuah jalan yang belum pernah atau jarang Anda lewati? Misalnya saja dengan mengucapkan, "permisi, numpang lewat", "punten Pak, Bu", "Nderek langkung". Bagaimana reaksi orang itu saat Anda sapa? Tentu sebagian besar dari mereka akan menjawab dengan ramah. Meski ada juga yang cuma mendehem atau diam, saya yakin kebanyakan orang yang kita sapa akan menjawab ramah, setidaknya dengan berucap "mari mari", "monggo", atau "Mangga". Tak jarang pula mereka akan menjawab dengan pertanyaan ramah, "Dari mana mas?", "Mau kemana?".
Saya berusaha terus melakukan ini. Maklum, hidup di kota membuat keramahan dan kehangatan hubungan antar manusia semakin sirna. Saya merasa selama dua tahun mulai menghirup udara Jakarta, tinggal di Bogor yang sudah perbatasan dengan Jakarta pula, kehangatan hubungan dengan sesama sangat kurang. Saya lahir dan besar di Bengkulu dan sempat hidup di Yogyakarta selama 7 tahun. Di Yogyakarta, meski banyak pendatang yang malas bertegur sapa dengan penduduk setempat, saya melihat masih ada juga diantara mereka yang mau menyapa saat berpapasan atau melewati orang-orang yang kebetulan sedang ngobrol di pinggir jalan.
Di Yogyakarta, masyarakat banyak kecewa terhadap budaya tegur sapa yang memudar. Mereka bilang, anak muda sekarang tidak tahu sopan santun. Kondisi ini amat mengecewakan. Yang disalahkan, tentu saja para pendatang yang semakin banyak. Saya sendiri berpendapat, selain banyak pendatang dengan latar budaya berbeda dalam berinteraksi, perkembangan global memiliki peran jauh lebih besar dalam penghapusan budaya lokal. Televisi adalah salah satu saluran globalisasi paling berpengaruh di masyarakat. Acara televisi di negeri ini miskin muatan nilai-nilai lokal, lebih banyak membuai, mendistorsi bahkan mencerabut masyarakat dari nilai-nilai luhur yang sesungguhnya harus dilestarikan. bahkan sekarang televisi sudah masuk ke daerah terpencil. Karena alasan ini, antara lain, saya tidak mau menghadirkan televisi di rumah.
Di Jakarta, orang seolah tidak lagi peduli dengan sesama. Kalau mau lewat ya lewat saja, begitu kira-kira. Orang tidak (mau) saling kenal. Saya tidak mau hal ini terjadi pada saya. Di lingkungan tempat saya tinggal, meski kesan individualisnya sudah mulai tampak, namun budaya tegur sapa masih cukup terjaga. Menegur orang yang lewat, orang yang kita lewati atau berpapasan, apalagi dengan senyuman, menimbulkan rasa kedekatan. Setidaknya saya merasakan itu. Di dalam Islam diajarkan untuk selalu tersenyum dan ramah pada orang lain. Bahkan, tersenyum kepada orang lain merupakan satu ibadah.
Kemarin sore, sepulang berolah raga saya melewati perkampungan di dekat rumah. Saya sapa setiap orang yang saya lewati, "Permisi Pak, Mak, Mbak, Teteh". Mereka tersenyum ramah sekali. "Mau kemana?". "Mau pulang Pak, Bu". Saya tahu mereka pasti jarang melihat saya, karena saya jarang sekali melewati jalan itu. Bahkan ada yang baru pertam kali melihat saya. Namun saya merasakan kehangatan dan keramahan mereka. Buat saya yang masih belum begitu pulih dari sakit, hal itu merupakan obat yang luar biasa. Tegur sapa dan senyuman adalah hal yang menyehatkan. Saya ingin hal semacam ini tidak hilang dari masyarakat.
Tegur sapa dan tersenyum bisa membahagiakan siapa saja yang melakukannya. Dunia terasa damai. Saya yakin, Anda pun bisa melakukannya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments
Post a Comment