12 Tahun Pasca Putih Abu-abu

Kemacetan jalan-jalan di Jakarta, pekerjaan yang menumpuk, suasana relasi yang cenderung saling tidak peduli pada orang di kanan-kiri, rasanya merupakan salah satu kepenatan sendiri untuk aku. Tinggal di Bogor dan bekerja di Jakarta bukan hal yang mudah. Ditambah lagi secara ekonomi masih terhitung pas-pasan dan terus bepikir bagaimana caranya untuk hidup tenang dan bahagia dalam kondisi apa pun. Kalau perlu menertawakan diri sendiri menjadi satu cara menuju ke sana.

Hari-hari belakangan ini aku merasa bahagia. Di tengah-tengah kepenatan menghadapi situasi tersebut, ternyata berkumpul dengan teman-teman lama merupakan satu jeda untuk refreshing. Bulan Ramadhan lalu, aku mengikuti reuni sekaligus berbuka puasa bersama dengan teman-teman semasa SMA. Lalu hari Ahad lalu, 11 Oktober, teman-teman seangkatan dari JIP Fisipol UGM mengajak berkumpul bagi semua alumni 1997 di Jakarta. Tadi malam ngobrol dengan Wahid Arsyad, teman dekat masa-masa kuliah yang kebetulan sedang berada di Jakarta serta tak sempat ikut reunian di blok M dengan teman-teman kuliah pada Ahad lalu. Sebelumnya, 8 Oktober, aku bertemu dengan Ochy teman masa kecil di Bengkulu. Insya Allah akhir pekan ini aku pun akan bertemu Rendi, sama seperti Ochy, teman dekat masa-masa sekolah di SDN 66 desa Tanjung Jaya, Bengkulu.

Read More......

Dunia boleh modern, teknologi semakin canggih, dan pergaulan makin meng-global, tapi ternyata tetap saja masih ada yang menggunakan pikiran dan cara primitif untuk mengatasi satu keadaan di masa ini.

Sekitar Juli tahun 2006 lalu. Kami mengadakan dialog inter-regional dalam upaya mencari terobosan penyelesaian masalah kekerasan yang dialami pekerja migran (TKI) di Timur Tengah. Kegiatan kami lakukan selama sepekan, mengundang aktifis HAM dan ilmuan dari Timur Tengah yang memiliki perhatian pada issue ini ke Indonesia. Selain dialog di Jakarta, mereka diajak mengunjungi daerah-daerah (asal) yang menjadi kantong pekerja migran yang mengadu nasib di Timur Tengah dan berdialog dengan aktifis pemerhati dan juga keluarga pekerja migran, tokoh adat dan tokoh agama, serta pemerintah daerah setempat. Dengan demikian, mereka yang dari Timur Tengah ini dapat melihat secara langsung, tak hanya dari laporan aktifis HAM di Indonesia, kondisi yang dihadapi oleh pekerja migran dan keluarganya.

Read More......