Belakangan ini saya begitu menikmati kemudahan dalam mendapatkan buku-buku bermutu yang sampai saat ini masih sulit untuk mendapatkan versi aslinya. Sulit mendapatkan bagi saya, selain karena harus membelinya dengan harga dolar di toko buku import, tentu saja saya sudah bukan mahasiswa lagi yang dapat saling berbagi dengan teman-teman untuk memfotokopinya, seperti yang dulu sering saya dan teman lain biasa melakukan. Pembajakan? Yah, kalau melihat isi kantong yang cekak dan nafsu mendapatkan ilmu yang cukup tinggi, hal demikian memang cukup dilematis.
JIKA sedang suntuk, saya menyetel lagu Jogja Cinta Tanpa Akhir yang sangat saya sukai. Lagu ini memberikan kenangan tentang Yogya yang sulit untuk dilupakan. Inilah lagu kenangan tentang kota gudeg itu setelah sebelumnya lagu Yogyakarta, yang juga dinyanyikan oleh Katon Bagaskara.
Hal yang membuat saya begitu menyukai lagu ini, terutama adalah suara gamelan jawa yang begitu merdu serta suara Waljinah. Gamelan itu, sungguh, membuat saya seperti berada di Yogya kembali. Begitu khas nuansanya, sampai-sampai teman-teman saya di lantai 3 ruang kerja di daerah Menteng ikut senang mendengarkan. "Keraskan suaranya mas Herman...", demikian seorang teman berucap ketika pertama kali mendengarkan lagu itu.
Alunan gamelan itu, yang begitu merdu, adalah hasil aransemen seniman gamelan terkenal bernama Sapto Rahardjo. Ia terkenal sampai ke masyarakat pecinta seni di luar negeri, namun saya sendiri baru bertemu untuk pertama kalinya sekitar tahun 2000 atau 2001. Saya tak ingat kapan persisnya. Saat itu malam minggu. Secara rutin, sebulan sekali di malam itu Fakultas Kedokteran UGM menyelenggarakan pentas kesenian, yang biasanya adalah pertunjukan musik klasik. Saya suka mendatangi pertunjukan ini meski tak rajin. Di salah satu acara itulah untuk pertama kalinya saya melihat langsung pertunjukan Sapto Rahardjo, yang memainkan gamelan mengiringi permainan piano seorang londo yang menjadi salah satu pemusik yang diundang kali itu. Dengan ketenarannya yang sudah saya dengar sejak lama, serta pertunjukannya di malam itu, saya betul-betul harus mengakui kemampuan pelestari kesenian tradisional Jawa ini.
Saya teringat, masih di tahun-tahun saya hendak menyelesaikan kuliah, teman baik saya Saleh tiba-tiba mengajak saya di satu waktu selepas isya. "Ada festival Gamelan Internasional. Ayo kita nonton." Saya sedikit kaget saat itu, sebab Saleh dalam proses pertemanan kami yang cukup dekat sesungguhnya adalah mahasiswa yang sangat "serius" dan tak mengenal kesenian. Bahkan saya sempat mengkritiknya karena ia tak menyukai sastera entah berupa novel ataupun cerpen. Ajakannya saya amini dan kami pun pergi dengan sepeda motor dua tak menuju jalan Gayam, tak jauh dari stadion Mandala Krida. Informasi tentang festival Gamelan itu ternyata tidak begitu jelas. Tapi kami begitu bersemangat mengingat acara itu diberi embel-embel "internasional" yang menunjukkah betapa besarnya hajatan ini. Entah kegiatannya belum dimulai atau mungkin sudah selesai, saya tidak begitu ingat bagaimana Saleh mendapatkan informasi itu. Tapi kami tak berhasil menemukan festival itu. Bahkan ketika sepeda motor kami arahkan ke Jalan Malioboro menuju Benteng Vredeburg dan seputar alun-alun, tetap tak ada petunjuk keberadaannya. Kami pulang. Tapi saya senang melihat teman yang mulai suka pada kesenian.
SORE ini seorang teman kerja mengabari kalau ia telah meninggal. Saya mencoba mengeceknya di internet dan mendapatkan informasi tentang itu. Usia memang telah dibatasi oleh sang Maha Kuasa. Jika telah tiba saatnya, tak satu pun yang mampu menundanya. Selamat jalan Sapto Rahardjo...
Tulisan tentang Sapto Rahardjo:
Seniman Gamelan Sapto Rahardjo Meninggal Dunia
Sapto Rahardjo, Membongkar Kesakralan Tradisi
Gamelan musician, composer Sapto Rahardjo dies at 54
Tentang Sapto di Gudeg.net