“My employer didn’t allow me to go back to Indonesia for six years and eight months…. I never got any salary, not even one riyal ... My employer never got angry with me, she never hit me. But she forbade me from returning to Indonesia.”
– Siti Mujiati W., Indonesian domestic worker, Jeddah, December 11, 2006
Selasa, 08 Juli 2008, saya menghadiri undangan peluncuran laporan penelitian mengenai kondisi Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga (PRT) dari Asia di Arab Saudi. Laporan yang diberi judul Seolah Saya bukan manusia atau As if I am not human ini merupakan hasil penelitian Human Rights Watch (HRW) selama tahun 2006 - 2008. Nisha Varia, orang yang melakukan penelitian ini hadir untuk memaparkan hasil temuannya selama melakukan penelitian di Arab Saudi dan negara pengirim Indonesia, Sri Lanka, Filipina dan Nepal. Laporan penelitian dari HRW mengupas kondisi buruh migran PRT yang hak-haknya dilanggar.
Menurut perkiraan, ada sekitar 1,5 juta pekerja rumah tangga "asing" yang ada di Arab Saudi. Kondisi Rumah tangga di Arab Saudi yang selalu tertutup menjadi kesulitan tersendiri bagi PRT yang mengalami pelecehan atau kekerasan (fisik dan/atau seksual) oleh majikan dan keluarganya. Keadaan lebih parah lagi ketika diantara mereka bekerja justru layaknya budak: tidak digaji, kurang istirahat, tidak mendapatkan makanan yang memadai, bahkan tidak ada layanan kesehatan ketika mengalami sakit. Kondisi yang dialami PRT tidak diketahui oleh tetangga, apalagi aparat setempat.
Dalam pengalaman saya bekerja di dalam Migrant Workers Issues, sering pula terjadi PRT dihukum cambuk bahkan terancam hukuman mati karena mempertahankan kehormatan diri dari ancaman pemerkosaan, atau "terpaksa" membunuh majikan karena bertahan dari penyiksaan yang sudah tidak kuat lagi ia tahan. Pernah seorang teman dari Cianjur Selatan yang pernah bekerja di sana bercerita, ia mengalami patah kaki karena terjun dari lantai 2 rumah sebab menghindari usaha penyiksaan.
Kondisi buruk PRT itu juga terjadi karena kebijakan yang tidak mengakui PRT sebagai pekerja yang harus mendapat perlindungan yang cukup, baik di negara Arab Saudi maupun negara-negara pengirim termasuk Indonesia. Untuk di Indonesia saja, kondisi buruk yang dialami sudah sejak masa penampungan. Calon buruh migran direkruit oleh calo-calo Perusahaan Jasa Pengiriman Ternaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang datang hingga ke desa-desa. Banyak diantara yang ikut mendaftar adalah anak-anak, yang dalam surat-surat identitas keterangan tentang diri mereka telah menjadi palsu. Lalu calon buruh migran itu dibawa ke penampungan. Sejatinya, di penampungan itu mereka dilatih banyak keterampilan dan diberi pengetahuan sehingga ketika sampai di tempat tujuan sudah terampil serta memahami kondisi yang akan mereka hadapi. Namun nyatanya, mereka justru hanya mendapatkan sertifikat tanda telah lulus pelatihan, dan siap diberangkatkan setelah dapat giliran untuk dikirim. Di penampungan, mereka dikurung seperti dipenjara. Fasilitas di dalam penampungan sangat tidak layak untuk menjadi tempat tinggal.
Kebanyakan calon buruh migran telah menyetor uang jutaan rupiah untuk biaya pemberangkatan. Kalau pun tidak membayar, biasanya gaji mereka selama sekitar 7 bulan atau lebih diambil oleh PJTKI dan PJTKA (rekanan PJTKI di luar negeri) sebagai pengganti biaya pemberangkatan.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Jumhur Hidayat datang terlambat pada acara peluncuran laporan. Namun ia menguatkan temuan yang ada mengenai kondisi buruh migran asal Indonesia. "Masih banyak pembenahan yang harus dilakukan," katanya.
Kemiskinan di tanah air telah mendorong orang untuk keluar dari desanya, bermigrasi ke kota-kota, bahkan ke luar negeri, meski kemampuan hanya memungkinkan untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Status PRT bukanlah sesuatu yang hina. Ia adalah pekerja dan karenanya ia harus mendapat pengakuan sebagai pekerja dan mendapatkan hak-hak sebagai pekerja. Pasar tenaga kerja di pabrik-pabrik atau rumah tangga lebih banyak memberi peluang bagi kaum perempuan. Pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan rumah, menjaga anak dan orang tua, mencuci, atau aktivitas di dapur dipahami dan "disepakati" sebagai wilayah kerja bagi kaum perempuan. Kesibukan bekerja yang makin bertambah bagi perempuan dan laki-laki yang berumah tangga, terutama di kota-kota di tanah air dan di luar negeri, menjadikan PRT sebagai satu kebutuhan. Karena itu pula kebutuhan negara-negara di Timur Tengah, Malaysia, Hongkong, Singapura, dan Taiwan, akan PRT dari Indonesia semakin bertambah. Pemerintah Indonesia yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang miskin (secara ekonomi dan keterampilan) lebih senang mengirim buruh ke negara-negara itu.
Tulisan ini bukan merupakan ringkasan dari laporan penelitian itu serta jauh dari lengkap untuk menggambarkan kondisi buruh migran PRT asal Indonesia. Bagi Anda yang tertarik, laporan lengkap dalam versi bahasa Inggris dapat Anda peroleh di sini. Laporan juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dapat diperoleh di sini
Acara kemarin adalah kali kedua saya bertemu dengan Nisha Varia. Pertama kali saya bertemu dengannya 2 tahun lalu, dalam satu dialog yang mendatangkan Pelapor Khusus PBB untuk urusan hak-hak kaum migran (UN Special Rapporteur on Human Rights of Migrants). Ia peneliti senior di HRW dan sangat menyukai musik pengiring pertunjukan Ila Galigo yang ia simpan di laptop kecilnya. Ia begitu gembira mengetahui saya juga telah menonton pertunjukan teater itu, "Sebuah hikayat kepahlawanan dari Sulawesi Selatan." Mereka yang bekerja sebagai buruh migran di negeri orang, dengan sistem perlindungan yang kurang memadai, bahkan tidak jarang yang pulang dengan penderitaan, pemerintah Indonesia telah memberi gelar pada mereka sebagai "Pahlawan Devisa".
Read More......