Acara pesta blogger 2007, ajang berkumpul blogger Indonesia berlangsung juga kemarin. Saya salah satu pesertanya. Sejak mula saya sudah berharap dapat teman baru, jumpa blogger-blogger yang selama ini hanya bisa membaca tulisan-tulisan mereka, serta berbagi pengalaman. Semuanya jadi kenyataan.

Read More......

Te'iak

Masyarakat Kaur Tengah dan Kaur Selatan hampir 100 persennya beragama Islam. Orang-orang berpuasa di bulan suci Ramadhan sebagai pemenuhan rukun Islam yang ke-tiga. Pada bulan ini, ada satu tradisi yang berlangsung sejak nenek moyang orang Kaur menganut Islam. Namanya "Te'iak".

Dalam kosa kata bahasa Kaur bagian Tengah dan Selatan tidak terdapat pengucapan huruf "R" sebagaimana orang Batak yang bisa mengucapkan dengan jelas. Yanga ada adalah huruf 'ain dalam bahasa Arab, yakni huruf ke 18 dalam susunan huruf Hijaiyah. Jadi kata Te'iak tidaklah dilafazkan "Teriak" seperti dalam bahasa Indonesia. Meski secara harfiah keduanya memiliki arti yang sama, namun "te'iak" merupakan satu kata untuk menyebut tradisi yang hanya berlangsung di bulan puasa.

Read More......

Koran Tempo hari ini, Minggu, 30 September 2007, memberitakan mengenai 2 jenazah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Perempuan tiba di bandara Soekarno Hatta pada Sabtu kemarin. Mereka berdua adalah Susmiyati dan Siti Tarwiyah, korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh majikan mereka di Arab Saudi. Foto kedatangan dua peti jenazah itu menghiasi halaman depan salah satu koran nasional tersebut.

Duka yang teramat dalam bagi bangsa Indonesia. Akhir-akhir ini begitu banyak TKI (mayoritas adalah perempuan) yang pulang dalam kondisi mengenaskan, dari luka-luka hingga kehilangan nyawa. Beberapa waktu lalu, yang cukup menghebohkan adalah kondisi Ceriyati, yang mendapat siksaan dari majikannya di negara jiran Malaysia. TKI sendiri kebanyakan bekerja di Timur Tengah (terutama Arab Saudi), Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Korea.

Saya tidak bisa memaksa Pemerintah atau polisi Malaysia untuk minta maaf dalam hal seperti ini. Tapi waktu terjadi bencana asap tahun lalu, dengan jiwa besar saat itu saya minta maaf.


sungguh pernyataan Pemerintah negara besar yang berjiwa kerdil. Dilecehkan oleh negara tetangga kok rela.

Perhatian yang cukup besar yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia (setelah mendapat tekanan dari masyarakat) pada masalah penganiayaan Colopita menyebabkan aktivis pembela HAM dan organisasi Perempuan yang lama menangani isu buruh migran (TKI), Solidaritas Perempuan, melayangkan surat terbuka untuk Pemerintah. Solidaritas Perempuan yang memiliki banyak jaringan yang tersebar di seluruh Indonesia menyayangkan perhatian yang tidak imbang dari Pemerintah antara penganiayaan Colopita dan kasus-kasus penganiayaan TKI yang selama ini terjadi. Apakah karena Colopita bukan seorang perempuan dan bukan TKI yang bekerja di sektor domestik seperti kebanyakan TKI Indonesia?

Saya sepakat dengan protes Solidaritas Perempuan yang membidik masalah dari sisi kemanusiaan. Toh Colopita dan TKI seperti Ceriyati atau Susmiyati dan Siti Tarwiyah adalah manusia yang kemanusiaan mereka telah diinjak-injak. Hanya saja bedanya, karena jenis kelamin dan status pekerjaan. Status pekerjaan TKI yang kebanyakan perempuan adalah Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bahkan di dalam negeri sendiri masih dinilai rendah oleh masyarakat. Lalu, di negara-negara tempat bekerja macam Arab Saudi, kebanyakan TKI laki-laki ditakuti oleh majikannya sendiri. Bisa jadi karena TKI laki-laki dinilai lebih kuat secara fisik sehingga bisa melawan ketika mendapat penganiayaan. Dan karena dinilai lemah dan tidak akan melawan itulah, maka permintaan akan TKI lebih banyak perempuan daripada laki-laki, selain tentu saja, pekerjaan domestik yang distereotipkan sebagai semata pekerjaan perempuan.

Pemberitaan yang begitu menekankan pada subjek Pemerintah dan majikan di negara tempat bekerja juga telah menyebabkan sesat pikir yang melahirkan rasialisme pikiran dan sikap rasis di masyarakat Indonesia. Sungguh sayang, sikap rasis yang bertentangan dengan kemanusiaan dan HAM itu justru tumbuh dan berkembang. Mulanya karena pulau Sipadan dan Ligitan yang resmi disahkan sebagai milik Malaysia oleh hukum internasional. Padahal sesungguhnya ketidakbecusan Pemerintah Indonesia dalam mengurusi wilayah kedaulatan tanah air, serta kelemahan negosiasi pemerintah yang merupakan faktor dominan yang menyebabkan kedua pulau itu lepas menjadi milik negara tetangga. Lalu berlanjut ke masalah penganiayaan majikan Ceriyati, yang warga negara Malaysia. Ceriyati adalah korban kesekian penyiksaan oleh majikan-majikan TKI yang ada di Malaysia. Lalu lahir rasa benci pada bangsa Malaysia. Ada romantisme semangat Dwikora masa Soekarno tahun 60-an, dimana saat itu ada usaha untuk mengganyang Malaysia. Sekali lagi, sungguh jauh dari inti persoalan sesungguhnya: ketidakberesan Pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsi melindungi warga dan wilayah negara.

Rasisme yang tumbuh di masyarakat belakangan ini tidak akan pernah menyebabkan harga diri bangsa menjadi terangkat di mata dunia. Bangsa yang rasis tidak akan pernah menjadi besar dan disegani karena memendam kebencian pada bangsa lain.

Bulan lalu, di sebuah hotel bintang lima di pusat perkantoran Jakarta, saya mengikuti sebuah workshop. Di sana, salah seorang peserta yang pejuang HAM Perempuan melontarkan pernyataan yang luar mengagetkan. "Ternyata di hotel ini aku menemui banyak orang dengan wajah Arab yang menginap. Aku pikir cuma di hotel ***** saja." Teman saya ini mengatakan, merasa jijik melihat wajah-wajah Arab. Yang terbayang di kepalanya, orang-orang Arab yang banyak melakukan kawin kontrak seperti terjadi di daerah Puncak. Mereka hanya memperbudak perempuan Indonesia untuk memenuhi nafsu birahinya.

Sungguh saya terkejut mendengar pernyataan rasis teman saya itu. Lalu pertanyaan saya ajukan, ketika melihat orang Arab kamu berpikir demikian. Lalu ketika melihat wajah-wajah orang Barat (bule) lalu kita merasa mereka adalah bangsa yang begitu mulia, begitu beradab. Tapi siapakah orang-orang yang gemar melakukan sodomi pada anak-anak di Bali, yang melampiaskan birahinya pada perempuan-perempuan Indonesia dan menyebarluaskan penyakit HIV/AIDS di tanah air? Tidak pernah kita berpikir negatif pada mereka yang berkulit terang dan berambut pirang. Sungguh tidak adil pikiran kita. Bahkan ini ada pada pikiran para aktivis dan pekerja HAM. Ketika ada wajah Arab, bahasa Arab, atau tulisan Arab, maka semuanya adalah pelanggaran HAM, harus dihapuskan. Namun, cuap-cuap berbahasa Inggris sembari melupakan kosakata bahasa Indonesia, membaca pemikiran ilmuan Barat, didikte oleh pemerintah Barat tentang cara hidup kita, serta kekayaan alam yang dikuras habis oleh bangsa Barat justru dianggap sebagai rahmat dan nikmat yang harus disyukuri. What a stupid thought.

Cara berpikir menganggap Barat serba terbaik sembari merendahkan bangsa lain bahkan bangsa sendiri tidak lebih dari penyakit inferiority complex yang sudah akut pada diri bangsa ini. Dan ini lebih mewujud di kalangan aktivis-aktivis HAM belakangan ini. Sungguh menyedihkan, kepicikan berpikir itu hadir dalam diri mereka yang mengenyam pendidikan tinggi, dan dengan semangat berkobar-kobar mengusung Demokratisasi dan HAM di tanah air. Lupa bahwa karena ulah mereka pula banyak kearifan lokal yang hilang karena proyek demokratisasi dan HAM itu. Seorang teman dari Makassar bercerita pada saya, sejak Ornop (jangan baca: LSM) membuat program yang melibatkan masyarakat lokal, dan memberikan 'amplop' pada warga setempat karena keterlibatan dalam program 'pemberdayaan' itu, masyarakat setempat menjadi malas untuk memajukan daerahnya kalau tidak ada 'amplopnya'.

Saya selalu berusaha mengenang jasa-jasa pahlawan devisa seperti Susmiyati dan Siti Tarwiyah yang jeazahnya tiba kemarin di tanah air. Mereka ini, juga TKI-TKI lain yang tersebar di berbagai negara, membutuhkan perhatian dari Pemerintah. Sistem perlindungan yang memadai menjadi kebutuhan sejak lama. Namun sejak lama pula kebutuhan itu tidak dipenuhi oleh Pemerintah. Alih-alih memenuhi, justru politik mengalihkan isu melalui media menjadi upaya melestarikan 'budaya lupa' yang idap bangsanya. Padahal, sungguh hal demikian tidak akan pernah meninggikan harga diri bangsa selagi Pemerintah tidak mau menghargai bangsanya sendiri.

Setiap tahun lebih dari 300 ribu orang TKI yang berangkat ke luar negeri untuk bekerja. Tidak kurang dari tujuh puluh persennya adalah perempuan, yang sebagian besar bekerja di dalam rumah tangga. Nyaris tidak ada jaminan perlindungan bagi keselamatan mereka karena bekerja di wilayah domestik. Tapi begitulah cara mereka memperbaiki nasib. Di tanah Indonesia, yang dulu merupakan negara agraris, sekarang tidak lagi memberikan harapan pada warganya. Pemerintah membuat kebijakan yang tidak peduli pada sektor pertanian, juga pada masyarakat desa. Pejuang Demokrasi dan HAM juga tak tahu upaya jitu memperbaiki nasib negeri ini selain berceramah sana sini dan memuliakan bangsa-bangsa kampiun demokrasi. Padahal bangsa-bangsa yang memaksakan penerapan demokrasi itu pula yang berperan besar dalam proyek pemiskinan dan pengerukan kekayaan alam Indonesia. Dari pada miskin di negeri sendiri, lebih baik berjuang di negeri orang. Sungguh perjuangan berat saudara-saudaraku...

Read More......