Saya lahir di Kaur Tengah, kabupaten Kaur, propinsi Bengkulu. Karena itu saya dapat berbahasa Bintuhan, bahasa suku kami di daerah ini.
Ibu saya berasal dari Alas Maras, kabupaten Seluma. Ia dari suku Serawai.
Di rumah, sejak kecil kami menggunakan bahasa campur-campur antara bahasa Serawai dan bahasa Bintuhan.
Sejak kecil, orang tua kami tinggal berpindah-pindah karena pekerjaan bapak sebagai pegawai kecil pemerintah yang mengharuskan begitu. Juga karena bapak ingin kami anak-anaknya bersekolah dengan lebih baik, jadi meninggalkan kaur yang masih pelosok di awal 1980-an.
Kami sempat tinggal di kota Manna, ibukota kabupaten Bengkulu Selatan. Sebelum ada pemekaran, Kaur dan Seluma adalah bagian dari Bengkulu Selatan ini. Bahasa Manna pun berbeda dengan bahasa Serawai dan bahasa Bintuhan. Saya pun sempat menguasai bahasa ini karena tinggal beberapa tahun di sana.
Pertengahan dan akhir 1980-an kami berpindah ke desa Betungan dan Tanjung Jaya, wilayah pinggiran kota Bengkulu yang berbatasan dengan kabupaten Bengkulu Selatan dan kabupaten Rejang Lebong. Penduduk di daerah ini adalah warga suku Lembak, dengan bahasa yang jauh berbeda dengan bahasa daerah lain yang pernah kami tinggali. Saya pun mulai belajar menguasai bahasa Lembak untuk sekitar 3 tahun hidup dan bersekolah disini.
Beberapa sanak saudara kami juga ada yang berasal atau kawin mawin dengan warga dari daerah lain seperti Seginim, Lahat dan sekitarnya yang berbahasa Semende. Kami pun mengerti bahasa ini. Apalagi daerah Sumatera Selatan, dengan bahasa Palembang, kami pun mengerti dan dapat menggunakannya, sebab Bengkulu dulu juga bagian dari Sumsel ini sebelum menjadi propinsi sendiri di penghujung tahun 1960-an.
Awal 90-an, kami mulai tinggal di kota Bengkulu. Karena dekat pasar Minggu saat itu, kami akhirnya terpapar bahasa Minang karena bertetangga yang kebanyakan orang-orang dari Sumatera Barat. Bahasa sehari-sehari dengan tetangga dan teman-teman tetap lebih banyak berbahasa Bengkulu kota yang lebih mirip bahasa Palembang.
Pertengahan tahun 1997 saya merantau ke tanah Jawa untuk kuliah di Yogyakarta. Sejak saat itu bahasa Jawa dan bahasa lain mulai akrab digunakan dan dipakai karena pergaulan dengan banyak teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia.
Saat di Bengkulu, kadang bahasa menjadi persoalan dalam berkomunikasi. Pernah saya berbicara menggunakan bahasa campuran Bengkulu kota dan bahasa Serawai pada sepupu saya dari Kaur. Ia tidak mengerti apa yang sedang saya bicarakan. Setelah sadar, saya mencoba berbahasa Bintuhan sepenuhunya. 😃
Demikian juga saat SMA. Saya ngobrol dengan teman baru yang berasal dari Manna, sementara beberapa kosa kata bahasa Manna yang saya pakai bercampur dengan bahasa Bintuhan. Lalu ia mengingatkan kalau itu keliru. 😬
***
Kemarin saya menelepon seorang saudara dari Bintuhan, meminta bantuannya untuk memperbaiki sesuatu di rumah. Kemudian dia mengirimkan pesan WA, "Dang datang pagi saje," katanya. Saya senang, ternyata ia akan datang pagi itu juga.
Lama saya menunggunya, sampai seharian. "Kok ia tidak datang ya," pikir saya.
Pagi ini kakak saya menelepon mengabari kalau ia sudah di depan rumah. Saya kaget karena sedang dalam perjalanan ke Solo. Saya lupa mengabarinya karena tadi pagi hujan lebat sejak Subuh sampai saya, anak, dan istri meninggalkan rumah pukul 6 tadi. Saya cek lagi pesan WA dari kakak saya ini. Saya baru menyadari saya telah salah memahami pesan darinya kemarin. Dalam bahasa Bintuhan, "pagi" itu artinyan "besok" dalam bahasa Indonesia. Sementara "pagi" dalam bahasa Bintuhan adalah "hayu". Dalam bahasa Bintuhan, untuk mengatakan besok pagi kami menyatakan "hayu pagi."
Kendala bahasa dalam berkomunikasi saya alami lagi karena banyaknya bahasa yang saya pakai di Bengkulu. Bahasa-bahasa itu sudah bercampur di kepala. Sekarang, karena sudah jarang digunakan sebab saya beristrikan orang Jawa Tengah dan sehari-hari berbahasa Indonesia di rumah, bahasa-bahasa yang pernah saya kuasai sejak kecil itu mulai memudar.
Mungkin saya harus lebih sering bertandang ke banyak saudara dan teman untuk menjaga supaya bahasa-bahasa daerah tersebut tetap terjaga. Semoga saja wabah Covid-19 segera berlalu, sehingga mobilitas kita semua dapat lebih leluasa.