Saya lahir di Kaur Tengah, kabupaten Kaur, propinsi Bengkulu. Karena itu saya dapat berbahasa Bintuhan, bahasa suku kami di daerah ini.
BUKA dan Pentingnya Kepemimpinan Perempuan Buruh
Posted by Herman Labels: Kehidupan, Opini, Renungan, SosialAccording to Barna (1997), there are at least six stumbling blocks in intercultural communication. First, assumption of similarities. Many people assume that there are many similarities around the world that make communication easier. In fact, while there may be many similarities (or superficial similarities) the values, beliefs or attitudes surrounding the communication process are different from one culture to another. Second, language differences in vocabulary, syntax, idioms, slang, dialects or the connotation and denotation meaning. They require enough understanding of the language so that they can be used appropriately and in their variations in communication. Third, nonverbal misinterpretations. It requires understanding of signs and symbols that are used in communication. Intercultural communication needs a good understanding of context and references of the language that be used by the speaker so the meaning can be distinguished. Fourth, preconceptions and stereotypes. People tend to assume that they know about the other reel of feeling, behaviour, and other circumstances. They predictions likely are prejudice based on the myth of truisms. Fifth, tendency of evaluate, which mean the approval or disapproval of others’ statements and actions instead of searching information of the realities. The last one is high anxiety or tension. It appear when communication occur when the one cannot maintain the normal flow of verbal nonverbal interaction.
I had an experience related to these stumbling blocks. When earthquake occurred in Jakarta 2 years ago, everyone fled out of our three-floor office building. One of my colleagues from Queensland complained that there is no appropriate exit when a fire or other disasters happen in Jakarta and there are many workers in office buildings. For the Indonesians, the complaint is funny since there is no safety standard in many building offices in Jakarta. When the others laughed, the Australian colleague was very shocked with the response that she thought it was not funny at all.
When having communication with Australian people or with other international students in Canberra, I had to be careful with the way I deliver an idea or to argue with others on discussing topic. This anxiety, however, makes me reluctant to become fluent in speaking and have good communication with others. But later the anxiety gradually decreased when I realised that many international students do not speak perfectly and it is common to do some mistakes in speaking. The more we realise that we make mistakes the more lessons we have and then improve it.
Some stereotypes about students from particular countries sometimes generate the uncertainty to have a study groups with them. As a result, many students prefer to shape a group with the same country fellow students. In order to improve English skill and intercultural relationship, it is better to have study group with fellows from different countries, since it will build mutual understanding and have network in the future. Therefore, put the stereotypes away will enable the communication to occur appropriately and with more natural learning.
Saat makan siang tadi saya ngobrol dengan seorang teman seorang relawan dari Australia yang ada di kantor tempat saya bekerja. Bron, begitu ia biasa dipanggil, berasal dari Melbourne dan sudah tinggal di beberapa negara lain sebelum ia menjadi relawan di sini. Sebelumnya ia sempat berkeliling Indonesia untuk mengenali kehidupan di negeri ini, termasuk ke Bengkulu dimana saya lahir dan besar.
Menilai fenomena korupsi di Indonesia, Bron berpendapat hal itu dapat disebabkan karena kesenjangan yang terlalu besar (huge gap) antara orang kaya dan orang miskin. Satu contoh saja, jika di sebuah pemukiman yang rumah-rumah berdekatan satu sama lain, maka akan lebih baik kalau rumah itu ukurannya sama dan tidak ada banyak perbedaan.
"Kalau punya rumah, saya akan melihat rumah orang lain. Jangan sampai rumah saya lebih besar dari rumah orang di sekitar. Kalau sampai berbeda, saya akan merasa tidak nyaman."
Pendapat Bron dan pengalamannya tentang "ukuran" rumah ini tentu jauh berbeda dengan kehidupan orang Indonesia kebanyakan akhir-akhir ini. Jika melihat rumah orang lain lebih besar, maka tetangganya akan berusaha membuat rumahnya juga berukuran besar, bahkan kalau dapat dibuat jauh lebih besar dibanding yang lainnya. Tentulah ini berkaitan erat dengan status sosial ekonomi masing-masing orang. Hasrat untuk lebih dari orang lain memacu seseorang untuk berusaha sedapat mungkin punya harta lebih banyak. Entah dengan cara yang baik seperti bekerja lebih keras, lebih banyak, lebih lama, ataupun dengan cara yang membuat negeri ini justru tambah parah tingkat korupsinya.
"Itulah sebabnya saya suka sistem komunis," kata Bron menambahkan dengan tertawa.
Bron melihat di dalam sistem komunis, kesenjangan antara si miskin dan si kaya tak terlihat. Dan karena itu pula ia lebih baik dibanding dengan sistem yang ada seperti di Indonesia.
Masyarakat Indonesia sekarang lebih sering menghargai orang lain karena pemilikan harta-benda. Sudah tak begitu hirau apakah mereka memperolehnya dari kerja keras ataukah dari menyiasati pencurian uang Negara.
Untuk menciptakan kondisi dimana jurang itu tak terlalu besar, ketimpangan sosial-ekonomi tak melahirkan kecemburuan, dan pembangunan lebih terlihat ada pemerataan, maka sudah semestinya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tepat. Bukan membiarkan setiap orang berlomba tanpa batasan, sikut kiri-kanan, dan pada akhirnya menjadi srigala bagi orang lain. Siapa kuat maka dia menang. Siapa lemah, maka mohon maaf, Anda tak layak hidup di tanah air Indonesia.
Catatan: gambar ilustrasi bersumber dari sini. Read More......
Persatuan Warga Kaur (PWK) Palembang dan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) mengajak adik sanak warga Kaur di perantauan untuk mudik bersama ke Kaur dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri 1434H.
Hari Minggu, 11 Agustus 2013 pukul 09.00 Wib atau reraye ke-4 akan ada kumpul-kumpul di Gedung Pendopo TM BINEKA desa Sekunyit Bintuhan. Pukul 19.00 Wib malam hari, akan ada pagelaran kesenian Kaur.
Mari balik ke Kaur. Kita bersilaturrahim sekaligus merayakan Idul Fitri tahun ini di Kaur.
Informasi ini disampaikan oleh Pak Son Iswandy dari PWK Palembang. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi beliau di no telepon genggam 0812 782 0344.
Peristiwa ini terjadi tahun 2000 lalu. Ceritanya saya bersama-teman tim pembawa bantuan dari Surat Kabar Kedaulatan Rakyat Yogyakarta membawa sumbangan warga Yogya untuk korban gempa bumi di Bengkulu. Sebagai orang Bengkulu, saya bersama teman-teman dari Bengkulu dipercaya untuk menjadi tim lapangan untuk memastikan semua bantuan tersalurkan ke masyarakat di banyak tempat. Maklum, gempa besar dengan kekuatan 7,3 SR saat itu mengundang banyak pihak untuk memberikan bantuan untuk menolong warga. Kalau asal-asalan, akan ada warga yang menerima bantuan berlimpah sementara tak sedikit mereka yang justru kekurangan bantuan.
Di sela-sela waktu bertugas itu, saya pulang ke rumah orang tua. Saya sembahyang dzuhur di rumah. Sajadah saya bentangkan di ruang belakang. Setelah selesai, rupanya ibunda memperhatikan saya.
"Menghadapnya kok kesana?" tanya ibu.
Saya kaget.
"Seharusnye kemane, Mak?" tanya saya dalam bahasa Kaur.
"Kesitu" kata ibu saya menunjuk ke arah depan rumah.
Tadi saya sembahyang menghadap ke arah kanan rumah. Akhirnya saya sadar kalau tadi saya bersembahyang ke arah Utara. Dengan posisi pulau Sumatera yang berada di bagian Timur kalau dari Tanah Suci Mekkah, seharusnya saya memang menghadap ke arah Barat. Setalah tiga tahun merantau ke Yogya, saya lupa arah kiblat ketika berada di rumah orang tua di sini.
Menurut penjelasan seorang saudara saya yang lulusan Pondok Pesantren Gontor, secara bahasa, kiblat (qiblatun/qiblah) adalah nomina (mashdar) berarti hadapan/tempat menghadap. Ia berakar dari verba qabila yang berarti menghadap.
"Secara khusus (Islam), Kiblat adalah tempat (baca:arah) kepada mana kaum muslimin menghadapkan wajahnya ketika shalat. Sebelum turunnya surat al-Baqarah: 144, Kiblat kaum muslimin adalah Masjidil Aqsha. Setelah turunnya ayat tersebut: berubah ke Masjidil Haram."
Kiblat adalah arah shalat (orang Melayu menyebutnya "sembahyang") yang menuju satu titik yakni Masjidil Haram yang ada di Mekkah. Semua ummat Islam yang melaksanakan Rukun Islam kedua tersebut mengarah kesana. Karena dari posisi Indonesia Kiblat itu adanya di sebelah barat--meski sesungguhnya juga agak ke barat laut sedikit, makanya orang di sini lebih sering menyebut Barat untuk menunjuk ke kiblat saat sembahyang.
Selain arah menghadap saat sembahyang, kiblat juga merupakah arah kepala hewan yang disembeliih dan arah kepala jenazah ketika dimakamkan. Informasi sederhana tentang kiblat ini dapat diperoleh di tautan ini.
Seorang teman yang baru pulang dari sekolah master di Belanda dua tahun lalu bercerita. Teman-temannya dari Suriname di Belanda melakukan sembahyang menghadap ke arah Barat. Ketika ditanya kenapa demikian, mereka menjawab singkat, "Karena dari nenek moyang kami dulu kalau melaksanakan shalat kiblatnya ke arah Barat." Padahal posisi Ka'bah jika di negeri Kincir Angin itu mestinya ke arah Timur.
Kisah teman di Belanda tadi saya ceritakan ke teman-teman saya di Alimat di dalam satu pertemuan. Mereka pun sudah mendapatkan kisah yang sama dari pengalaman berinteraksi dengan orang Suriname. Mereka yang berada di Suriname merupakan keturunan orang-orang Jawa masa penjajaha Belanda. Mereka di bawa ke negeri itu sebagai tenaga budak dan akhirnya beranak pinak di sana. Karena orang Jawa zaman dulu menghadap ke Barat saat shalat, akhirnya anak cucunya ikut demikian. Aneh, tetapi itulah kenyataan.
Saat saya ditegur ibunda usai melaksanakan sembahyang di Bengkulu 13 tahun lalu itu, saya hanya tersenyum-senyum saja. Sembahyangnya tetap sah dalam ajaran Islama. Pertama karena itu dilakukan tanpa sengaja dan karena ketidaktahuan. Kesalahan demikian selalu mendapatkan pengampunan dari Allah SWT. Kedua, di dalam ajaran Islam, kalau dalam kondisi arah Kiblat tak diketahui, maka mereka yang sembahyang mengikuti keyakinannya arah mana Kiblat itu. Dan ibunda saya pun sangat memahami kondisi saya.
"Kemanapun kalian menghadap, di situlah 'Wajah' Allah" (QS. Al-Baqarah:115). Demikianlah yang diajarkan dalam Islam. Dan Allah pun ada dimana-mana.
Saya sekeluarga beruntung dapat berlibur bersama di Bali pada 25 - 29 April 2013 lalu. Bagaimana tidak, di Bali kami menginap di rumah sahabat istri saya Naning semasa sekolah di Solo dulu. Letaknya di Kabupaten Klungkung, agak ke timur (atau tepatnya di Tenggara?) pulau Dewata itu. Ia dan suami beserta anaknya menyambut kami dengan hangat seperti kedatangan keluarga dari jauh. Karena kesibukan saudara kami ini yang berniaga dari pagi hingga petang, maka mereka tak sempat menemani kami berkeliling Bali. Sebagai gantinya, mereka menyediakan sebuah mobil kijang Innova lengkap dengan sopirnya. Ini fasilitas luar biasa untuk pelancong seperti kami.
Namanya Ine. Orangnya cantik dan berkerudung. Tingginya tak kurang dari 160 sentimeter. Ia keturunan Cina Bali dan Bandung. Suaminya Sandi, orang Lombok asli. Mereka memiliki dua orang putra, yang tertua baru setahun ini nyantri di Banyuwangi, serta anak terakhir ada di rumah dan duduk di kelas tiga sekolah dasar. Mereka hangat. Kami merasa seperti sedang mengunjungi keluarga di pulau ini.
Kampung Lebah, kelurahan Semarapura, merupakan pusat kota di Kabupaten Klungkung. Kampung Lebah merupakan salah satu dari enam kampung yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Muslim disini tak hanya pendatang, banyak juga yang merupakan orang Bali asli.Herman, orang yang membawa mobil innova yang kami tumpangi berkeliling Bali adalah salah satu orang Bali asli. Tidak seperti orang Bali yang identik memeluk agama Hindu, mas Herman dan keluarganya bahkan memeluk Islam sejak dulu kala. Kedua anak kami, Zahid dan Fatih, senang bersenda gurau dengannya. Apalagi nama panggilannya sama dengan saya.
Hari raya nyepi merupakan hari suci bagi umat Hindu di Bali. Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya ini sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak boleh ada aktivitas. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, kecuali rumah sakit. Bandar Udara Internasional pun tutup. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktivitas seperti biasa. Umat Hindu melaksanakan "Catur Brata" Penyepian yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi.
Demikianlah untuk masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada, suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga (menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan)), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin).
Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru.
Pada hari nyepi, umat Islam tetap melaksanakan aktivitasnya sehari-hari namun membatasi diri supaya tidak mengganggu nyepi umat Hindu. Suara adzan tak dikumandangkan dengan pengeras suara, tidak menyalakan lampu dan alat elektronik yang dapat menimbulkan suara, serta aktivitas lainnya.
Setiap kampung di Bali memiliki tenaga keamanan masing-masing. Namanya pecalang. Ada kesepakatan di antara pecalang di kampung muslim dan umat Hindu. Daripada terjadi bentrok antara pecalang dengan penduduk Muslim yang tidak mematikan lampu atau menjalankan aktivitas yang mengganggu, pecalang dari kampung Muslim sendiri yang melakukan operasi pengawasan rumah-rumah penduduk untuk memastikan bahwa tidak ada aktivitas yang terjadi yang menodai perayaan Nyepi. Jika pecalang Muslim masih melihat ada lampu yang menyala, alat elektronik yang bersuara, atau aktivitas lainnya, maka pecalang kampung sendiri yang akan menegur warga dan menghentikan aktivitas tersebut. Hal ini dinilai baik supaya tidak ada bentrokan yang berbau agama.
Ada pengecualian bagi warga Muslim di Bali selama Nyepi. Antara lain adalah untuk orang lanjut usia, keluarga yang memiliki bayi, atau ada kematian, yang membutuhkan penerangan dan aktivitas di dalam rumah. Begitu juga dengan ibadah di masjid, Muslim tetap dapat ke masjid namun tidak membuat suara-suara yang "mengganggu". Kesepakatan ini kemudian diketahui dan dipatuhi oleh kedua pemeluk agama yang hidupnya mberdampingan ini.
Pernah ada bentrok fisik antar-warga yang kelihatannya yang berbau agama. Persoalannya sepele, seorang pemuda mabuk setelah meminum minuman keras. Lalu mengganggu pemuda lain yang kebetulah beragama berbeda. Akhirnya timbul perkelahian. Menghadapi ini, warga masing-masing umat memahami akar persoalan sehingga tidak sampai mengakibatkan kerugian yang lebih fatal.
Satu hal yang menarik selama kami berada di Semarapura. Saat sembahyang Subuh di Masjid, saya mengamati sepeda motor diletakkan begitu saja di pinggir jalan yang masih sepi. Bahkan tidak mengunci stangnya. Mobil-mobil pun tidak sedikit yang diparkir di pinggir jalan. Semuanya aman. Tidak ada pencurian kendaraan bermotor. Mas Sandi mengatakan kalau di kampung semuanya saling menjaga keamanan. Tidak ada pencurian, baik di kampung Muslim maupun di kampung yang mayoritas dihuni umat Hindu. Buat saya, ini hal yang luar biasa. Jangan coba-coba kalau mau meletakkan sepeda motor di pinggir jalan di tempat tinggal kami di Bogor, belum lima menit sepeda motor itu pun dapat dipastikan "berpindah tangan".
Jika di waktu subuh suara adzan berkumandang membangunkan warga, maka tepat pukul enam pagi suara alunan alat musik Bali menandai ibadah pagi umat Hindu di sini. Alunan musik yang sama juga terjadi di pukul enam petang. Semua saling tahu. Semua saling menoleransi.
Saya menemui satu istilah baru, yakni Rukun Umat. Mungkin ini semacam Rukun Warga (RW) kalau di pemukiman warga di pulau Jawa. Mungkin karena di perkampungan Muslim, maka istilahnya mejadi Rukun Umat. Seperti RW, Rukun Umat pun ada yang menjadi ketuanya. Segala hal yang berkaitan dengan kewargaan diatur di dalam Rukun Umat. Tentunya supaya kerukunan dapat berlangsung dengan baik.
Perbedaan agama tidak menjadi hambatan masyarakat dalam membangun kehidupan bersama. Hanya saja peristiwa bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 dan 2005 lalu sempat membuat hubungan antar umat dua agama disini menjadi tegang. Umat Islam merasa terpojok karena dua kejadian itu.
Sekarang, lambat laun hubungan menjadi harmonis. Aktivitas sehari-hari berjalan lancar. Warga pemeluk dua agama ini menjadi biasa bersosialisasi satu sama lain. Hal yang menonjol di sini adalah warga Muslim mengambil peran di dunia niaga. Praktis aktivitas jual-beli dikuasai kalangan Muslim. Sementara instansi pemerintahan mayoritas diisi oleh umat Hindu. Pada umumnya, kerukunan menjadikan semua aktivitas bejalan lancar. Semoga ini merupakan kondisi yang terus terpelihara, sebab semua orang membutuhkannya.
Read More......